Belajar Memahami Diri Sendiri

Kita teramat sering diajar bagaimana memahami kemiskinan orang lain (kurang materi), maka muncul banyak badan amal, yayasan sosial, dompet dhuafa, rekening siyatim, dsb, dlsb. Tetapi kemelaratan bukan berkurang dari negeri ini, bahkan makin memprihatinkan. Negeri yang katanya bak ratna mutu manikan, zamrud di katulistiwa, sumringah dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah.

Kita juga kadang dinasehati belajar memahami kesulitan hidup orang lain (kurang pintar), maka berjubelah lembaga sekolah, pesantren, kursus kilat; dan mereka yang turut prihatin, dengan lembaga bantuan hukumnya, LSMnya, simpatisannya, dll, dlsb. Tetapi sayang negeri ini tidak pernah sepi dari jerit sayat ketertindasan. 

Kita kerap dibuat kasihan dengan orang yang cacat jasmani dan mental rohani (kurang sempurna), maka hadir pula sekolah untuk mereka (SLB), solidaritas komunitas penyandang cacat ini cacat itu, menyisihkan sedikit recehan kocek untuk pengemis cacat. Ironisnya kita tidak pernah sungguh-sungguh melahirkan sistem yang cukup baik guna menghindarkan terjadinya insiden cacat jasmani/mental rohani yang lebih parah. Lihat korban tsunami, KDRT, musibah transportasi, dan kecelakaan traumatik lainnya.

Nah, yang berikut ini sayangnya, bahkan sayang sekali.

Teramat jarang kita diajar memahami kesalahan(kalau yang ini istilahnya: kurang benar) orang lain , maka yang lahir adalah saling menyalahkan, merasa diri sendiri benar salahnya punya orang lain, bahkan sudah sampai dalam bentuk umpatan, cacian, hajatan, unjuk rasa anarkis.

Tak jarang kita memanfaatkan /memaafkan kesalahan seseorang tapi menggosipinya di tempat lain, dengan kesalahan lain, pada orang lain, dan lain-lain.

Teramat sering kita dinasehati dan menasehati, diceramahi dan menceramahi, didoktrin dan diminta mendoktrinisasi orang lain untuk tidak berbuat kesalahan terlebih mengulanginya. Tetapi semua itu jarang membuat kita memahaminya lalu memaklumkan ke orang lain kenapa sebuah kesalahan sampai terjadi.
Begini saja (saya bukan penulis yang baik, mood tentang topik ini mau menguap, cepat saja saya goreskan kesimpulannya, nanti dikembangkan di lain waktu/tulisan).

Seandainya kita sampai menyalahkan bahkan sudah menghujat perbuatan seseorang, misalnya telah: korupsi, kolusi, nepotisme, amoral, asusila, asosial, ax, ay, az, axyz, bahkan sudah ke stadium analgaksih (gak merasakan sih dan menyadari sedikitpun kesalahannya, semacam analgesic, tahap tidak merasakan sakit).

Tidakkah kita coba lebih dulu berempati: Bagaimana seandainya kita berada dalam posisi mereka? Maka semua hal (bayangkan) harap kita jalani, mulai dari: latar belakang hidup mereka, sikon, kecenderungan, proses, stimulus dan godaan, intrik dan ancaman , potensi dan ketidakmampuan, pokoknya semua apa saja yang berakumulatif menyebabkan terjadinya sebuah kesalahan; pertanyaannya : apakah kita tidak akan melakukan hal yang sama?

;Okey, kalau kita berdalih untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu(kesalahan), semua tergantung pada pribadi seseorang; maka sekalian saja kita berempati ke aspek itu. Seandainya (jadi bukan saja keadaan) kita punya kepribadian yang sama, karena toh hidup kita coba (tukar nasib nih, yee) dengan semua latar belakang yang menjadikan mereka berkepribadian seperti apa, masih juga kita tidak akan melakukan hal yang sama?

Pada akhirnya, kita hanya perlu merasa bersyukur, bahwa kita tidak dikondisikan dengan semua hal yang menjadikan kita melakukan kesalahan yang sama dengan mereka, termasuk tidak sampai memiliki pribadi yang kurang (terlantar) sehingga tidak mampu menolak melakukan kesalahan tersebut.

Kalau cuma punya rasa syukur karena tidak ditakdirkan dalam posisi itu, sesungguhnya ada apa dengan kita, sampai kerjaannya cuma bisa menghujat kesalahan seseorang. Pada hal dengan keberuntungan kita itu, mumpung dalam posisi yang “sempat baik, dan benar”; coba kita perjuangkan sebuah sistem yang bisa meminimalisir orang dari kurang materi, kurang(ajar?) pintar, kurang sempurna, terlebih kurang benar!
Jadi tidak cuma mencari kesalahan, tapi juga mau memahaminya, terus memperbaikinya, dan yang lebih penting menciptakan semua hal (sistem) yang kondusif bisa membenahi kesalahan tersebut!

Bagaimana?
Share this article :
 
 

Copyright © 2011. HMI STAIN JEMBER - All Rights Reserved