Oleh: Umiarso
A. Prolog: Sebuah Wacana Pengantar
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah
Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam
Dia mengajarakan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya[1
(Surat Al-Alaq: 1-5, wahyu Tuhan yang pertama kepada nabi Muhammad).
Bias bahan material ilmu dan batas geokultural dalam komunitas manusia perlu dikaji secara kritis-selektif sebagai elan dasar pengembangan wawasan intelektual. Dekonstruksi batas definitif objek dan wilayah ilmu adalah dasar etik seluruh kesaksian (syahadah) ketuhanan secara intelektual yang didasari oleh spirit pemuliaan kemanusiaan (humanitas) tanpa memandang batas-batas geokultural. Sebab tak ada realitas di luar peran Tuhan dan tak ada realitas yang terfregmentasi (terpisah) menjadi sub system yang eksis dengan eksistensinya sendiri. Seluruh fisis kealaman dan humaniora terkonstruksi dalam kesatuan mistis di bawah paradigma The Natural Laws (Sunnahtullah).
Teks verbal sacral Tuhan yaitu al-Qur’an dan al-Hadist juga teks non-verbal alam natural dan social adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan entitas mistis universum yang tak terpisahkan kecuali bagi kebutuhan analisis ilmiah rasional materialistic. Dengan demikian, The Natural Laws merupakan ontologis-metafisis seluruh objek ilmu yang bukan sekedar berdimensi empiris an sich. Ilmu adalah konsep realitas sebagai bentuk kehadiran Tuhan dalam dunia empiris yang disadari oleh subjek ilmu.[2] Pendekatan-pendekatan kritis dengan formulasi metodologik dapat memasuki dataran objek transenden dan ontos-metafisis dari seluruh realitas dan histories-sosilogis subjek ilmu. Maka ketika problema keilmuan bersumber pada hubungan subjek-objek, formulasi penyusunan akar ilmu dapat dibedakan menjadi beberapa style (model) sesuai dengan pandangan dasar (world view) mengenai hakikat filosofisnya.
Yang pertama adalah pendekatan model dengan asumsi dasar bahwa ilmu adalah konsep mengenai realitas yang tersusun secara hierarkis dan structural.[3] Implikasi dari asumsi ini yaitu bahwa struktur ilmu tersusun secara hierarkis sesuai dengan konseptualisasi pluralnya realitas tersebut. Dan yang kedua, berdasarkan pada asumsi dasar bahwa ilmu merupakan simbolisasi kesadaran manusia,[4] dan dari ini maka muncul struktur ilmu yang akan bersesuaian dengan stadium-stadium kesadaran manusia. Dari dua asumsi dasar tersebut, ada yang berpandangan bahwa akar ilmu adalah struktur dan hubungan antara subjek dan objek, hal ini berarti bahwa ilmu adalah pola struktur hubungan itu sendiri yang berada di luar dari subjek maupun objek. Pandangan yang ketiga adalah yang lebih banyak bersumber pada hakikat “being” yang antos-fisis an sich dan mereduksi sisi lain dari hal “being” yang bersifat ontos-metafisis.
Dan dalam pandangan Aguste Comte (1798-1857), seorang filosof kebangsaan Perancis yang masuk pada aliran Positivistik, membagi pola alam pikiran manusia yang berkembang berdasarkan pada beberapa tahapan yaitu tahapan teologis, metafisis dan positivistic[5], atau juga Cornelis Anthonie Van Peursen (1920- ), seorang filosof kebangsaan Belanda, membagi perkembangan alam pikiran manusia pada tiga tahapan yaitu tahapan mistis, teologis dan fungsional.[6] Pola-pola tahapan perkembangan pikiran alam manusia tersebut bisa dijadikan tangga akar susunan ilmu, artinya akar susunan ilmu dapat dilihat dari tahapan perkembangan pikiran subjek ilmu yang bertransformasi dari tahapan ke tahapan yang lain secara evolutif-gradualistik atau revolutif. Sehingga struktur ilmu ketika mengikuti pola ini adalah tahapan pemikiran itu sendiri. Dan ketika tahapan itu tidak hanya bersifat histories an sich tetapi juga bersifat akumulasi kualitatif, maka setiap pemikiran dan perkembangan ilmu akan dimulai dengan konsep mistik atau teologis –integralistik universum --. Akan tetapi, jika kritik ilmu mulai kembali mempertanyakan keabsahan formalitas-normatif pembakuan fungsionalistik atau positivistic, tahapan ilmu mungkin mulai berdaur ulang mencapai suatu tahapan keempat atau bahkan lebih.
Sementara struktur konsep dilihat dari rentang jarak epistemologis terhadap realitas (ontologis/empiris) dapat dibedakan menjadi: konkreta, abstrakta dan illata.[7] Seluruh konsep merupakan hal yang abstrak namun karena kedekatannya dengan realitas/empiris maka di sebut dengan konkreta, artinya semakin tinggi tingkat abstraksi suatu konsep dengan realitas empiris disebut dengan abstraksi dan yang tertinggi adalah illata, dan sedangkan yang dekat dengan realitas empiris/praksis di sebut dengan konkreta. Dan hal ini nantinya mempengaruhi tingkat transformasi suatu ilmu di mana konsep yang semakin berkaitan dengan hal-hal praksis semakin mudah berubah dan tak berlaku karena realitasnya berubah. Akan tetapi, objek ilmu tetap stagnan dengan eksistensinya dan kesatuan mistis realitas universum menjadikan definisi cultural tidak dapat dijadikan dasar reduksi objek ilmu. Pemikiran rasional spekulatif dikembangkan bersama yang empiris, sedangkan yang logika formal kausalistik dikembangkan bersama yang lateral spiritual dan intuitif.
Berdasarkan paparan tentang seluk beluk ilmu dan juga tentang hal yang disorot oleh ilmu, sehingga akan melahirkan suatu ilmu pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan paradigma dari subjek ilmu. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk deskripsikan tentang dasar, struktur dan juga klasifikasi dari ilmu pengetahuan yang merupakan tugas utama dari Dosen Pembimbing Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Dan dibagian terakhir penulis juga mencoba untuk “mengawin-mut’ahkan” antara konsep dasar dan struktur ilmu pengetahuan dengan pemikiran penulis yang terinspirasi oleh ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, sehingga yang melahirkan ilmu pengetahuan berparadigma wahyu verbal Tuhan dari rahim keduanya sebagai tesis dari penulis.
B. Ilmu Pengetahuan: Deskriptif-Analitik
Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang mekanisme sistem-sistem tersebut. Sistem yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan manipulasi pemikiran manusia mengenai mekanisme hubungan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang diinstitusionalisasikan. Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada justifikasi ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan.[8]
Dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan diperlukan tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah bangunan yang mengandung makna universalitas. Tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi.[9] Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.
1. Dasar Ilmu
Ada tiga dasar ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin yang mengunakan kategori-kategori seperti ada (being), eksistensi (existence), kenyataan (reality), perubahan (change), tunggal (one) dan plural (many). Ontologi menyelidiki realitas seluruh objek yang ada di alam semesta ini. Oleh karena itu, ia merupakan “ilmu pengetahuan” yang paling universal dan holistik. Ontologi merupakan konteks untuk semua konteks yang lainnya, cakrawala yang merangkum cakrawala, dan pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya.[10] Dan realitas manusia merupakan objek empiris dalam filsafat ontologi, maka objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge)[11] yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan tersebut. Sedangkan Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha memperoleh pengetahuan.[12]
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa pascamodernis adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini.[13]
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Sedangkan Ahmad Tafsir mengatakan secara implisit bahwa aksiologi merupakan suatu disiplin ilmu dalam filsafat yang menela’ah tentang kegunaan ilmu.[14] Dan Muhammad Roy memberikan definisi bahwa aksiologi adalah ilmu yang membahas kegunaan dan manfaat ilmu pengetahuan bagi manusia.[15] Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu pengetahuan akan terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.[16]
2. Struktur Ilmu Pengetahuan
Menurut Simanhadi Widyaprakosa, terjadinya struktur ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari proses pembentukan ilmu itu sendiri, yaitu dari pengetahuan faktual yang bersifat konkrit sampai dengan tersusunnya teori atau dalil yang bersifat lebih abstrak.[17] Artinya, struktur ilmu pengetahuan terkodifikasi dalam kerangka bangunan teoritis-konkrit yang berupa data faktual sampai pada teoritis-abstraksi dengan tidak melepaskan diri pada realitas yang ada. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan berkembang melalui pembangunan teori dari data faktual, atau sebaliknya melalui penerapan teori dalam praktek. Dengan kata lain ilmu itu sebagai produk pengkajian terhadap kenyataan, atau sebagai proses mengatasi atau memecahkan masalah dalam kehidupan praksis, keduanya saling mendukung.
Setiap pengembangan ilmu, baik ilmu murni maupun ilmu terapan[18], keduanya memerlukan konsep dasar, artinya konsep dasar yang dibangun sangat menentukan konstruksi ilmu yang akan diteropong atau dibangun. Dengan konsep dasar tersebut, penyusunan sistem akan menjadi lebih mudah. Sistem adalah suatu gambaran operasional sebagai landasan secara teknis metodis untuk mencapai tujuan.[19]
Begitu juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu murni maupun ilmu terapan, selalu bermula dari adanya masalah yang harus dipecahkan, artinya masalah yang dihadapi oleh ilmu pengetahuan akan merancang metodologi-sistemik yang dijadikan pisau analisis sebagai salah satu sifat dari ilmu pengetahuan. Dan dalam memecahkan masalah, ilmu pengetahuan memerlukan asumsi-asumsi sebagai pengarahan menyusun sistem operasionalnya. Asumsi itu dapat dipecahkan secara teoritis berdasarkan teori atau dalil yang telah diketahui dalam menyusun hipotesis. Secara ilmiah, hipotesis itu harus diuji melalui pengkajian fakta dalam proses penelitian.[20]
C. Mengkawin-Mut’ahkan Paradigma Epistemologi Dengan Wahyu Verbal
Dalam pemikiran penulis yang disajikan ini, penulis ingin mengarahkan pada suatu grand project of knowledge, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori ilmu pengetahuan khas Islam yang penulis sebut sebagai ilmu pengetahuan profetik.[21] Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.[22]
Dengan demikian, meminjam analisanya Kuntowijoyo[23] bahwa:
Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Sampelnya adalah statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu nilai-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku.[24] Nilai-nilai pertama telah banyak dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu pengetahuan Islam. Cara yang kedua lebih relevan pada saat ini, jika ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat pascamodernis. Sebab sampai sekarang masyarakat Islam kekurangan sikap yang mampu atau bisa melakukan transformasi nilai wahyu verbal Tuhan dalam bentuk ilmu pengetahuan. Kondisi masyarakat muslim memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam[25] dan juga ilmu pengetahuan lainnya.
Dalam kerangka ini, wahyu verbal Tuhan ditempatkan dalam boks Operasi Metodologi Tafsir yang berusaha untuk memahami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini.[26] Artinya, nilai wahyu verbal Tuhan harus mampu merekonstruksi tatanan masyarakat kontemporer sesuai dengan nilai etis illahiyat. Oleh sebab itu, menurut Fazlur Rahman perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.[27]
Salah satu pendekatan metodis yang perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik.[28] Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, yaitu: pertama, berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan yang kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai ajaran Islam. Sedangkan dalam bagian yang berisi tentang kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menerjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.[29]
Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, diperlukan adanya lima program reinterpretasi ala Kuntowijoyo, yaitu:
1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pemahaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceritakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.[30]
Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa paradigma ilmu pengetahuan bisa dirintis dengan metode baru penafsiran al-Qur’an ala Kuntowijoyo. Metode tafsir yang ditawarkan disini adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya.
Dari konsep-konsep al-Qur’an tersebut, dapat diciptakan teori-teori “ilmu pengetahuan profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif,[31] yang dimaksud transformatif di sini adalah mampu membangun dan membawa perubahan sosial, baik cara berpikir, bersikap dan berperilaku secara individual maupun sosial.[32]
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu pengetahuan terlebih lagi ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.[33]
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Elaborasi terhadap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini, dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.[34]
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu teologi yang menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah.[35] Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.
Akan tetapi, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebagian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.[36]
Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas.[37] Istilah “teologi” perlu diganti dengan istilah yang lebih membumi yang salah satunya adalah Kuntowijoyo yang mengganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.[38]
Konstruksi paradigma baru ilmu pengetahuan harus didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun bersifat “paradigmatik”, Karl Marx bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa.[39] Karena ilmu pengetahuan terlebih pada ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami ini mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala sosial saja. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.
[1] Sayyid Quth’b. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Jilid 24). Jakarta: Gema Insani Press. 2002. hal: 177
[2] Abdul Munir Mulkhan. Pemuliaan Kemanusiaan Dalam Etika Intelektual Santri, dalam Abdul Munir Mulkhan dkk. Rekontruksi Pendidikan Dan Tradisi Pesantren: Religiusitas IPTEK. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal: 41
[3] Pandangan tersebut merupakan worldview dari filosof sosialis yaitu Karl Mark. Dan dengan pandangan dari aliran social tersebut yang terkenal dengan materialisme histories, kita telah disadarkan oleh pandangan tersebut bahwa ternyata sejarah terus bergerak berdasarkan gerak materialnya dan semua perkembangannya menuju pada tiga fase yaitu fase tesis, antitesis dan sintesis. Lebih detailnya lihat Daniel L. Pals. Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. Hal: 179-223. Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Hal: 1018-1028. Ali Mudhofir. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Hal: 348-352
[4] Simbolisasi kesadaran manusia ini pernah dialami oleh nabi Ibrahim, bapak agama Monothoisme dunia yaitu Islam, Kristen dan Yahudi, yang di dalam drama teologisnya nabi Ibrahim ketika mencari Tuhannya tidak dalam lingkaran histories-sosiologis, akan tetapi di atas lingkaran histories-sisiologis. Dan juga pada nabi Muhammad yang di kenal sebagai khatamul anbiya’, juga mengalami hal yang sama dengan berkontemplasi di gua Hira’ dan turunlah wahyu yang pertama yaitu surat Al-Iqra’: 1-5. lebih detail tentang nabi Muhammad lihat Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 2004. Hal: 41-58
[5] a. tahapan teologis bersifat antropomorfik. Benda-benda merupakan ungkapan dari super naturalisme, bermula dari fetish kemudian polyteisme dan kemudian menjadi monothoisme. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini merupakan abad kekanak-kanakan.
b. tahap metafisik mengantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum, abad remaja.
c. tahapan positif berusaha untuk mengungkapkan hubungan yang seragam dalam gereja. Tahap ini menghindari pertanyaan “mengapa” dari teologi dan metafisika. Dan menanyakan bagaimana kaidah-kaidah alam mengantikan sebab-sebab yang mutlak. Ali Mudhofir. Kamus Filsuf … Op. Cit. Hal: 102
[6] a. tahap mistis ialah sikap manusia yang merasa dirinya di kepung oleh kekuatan gaib disekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam atau kekuasaan kesuburan, seperti yang dipentaskan dalam mitologi-mitologi dari bangsa primitif.
b. tahap ontologis ialah sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mistis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu (ontologi) dan segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu).
c. tahap fungsional ialah sikap dan alam pikiran manusia modern. Ia tidak begitu terpesona oleh lingkungan (mistis), ia tidak lagi kepala dingin mengambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis). Manusia justru ingin mengadakan relasi baru. Ibid. Hal: 516
[7] Abdul Munir Mulkhan. Akar Pendidikan Islam Sebagai Ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan. Rekonstruksi Peradaban … Op. Cit. Hal: 97
[8] Suparman Syukur. Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya Pada Pemikiran Islam Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Hal: 97
[9] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993. Hal: 35. lihat juga dalam Jujun S. Suriasumantri. Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S. Surisumantri (edit.). Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001. Hal: 2 dan 5
[10] Anton Bekker. Ontologi Atau Metafisika Umum: Filsafat Pengada Dan Dasar-Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius. 1992. Hal: 20. Lihat juga dalam Muhammad Roy. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles Dalam Qiyas Ushul Fiqih. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2004. Hal: 22
[11] Jujun S. Suriasumantri. Tentang Hakekat … Op. Cit. Hal: 9. Sementara Roderick M. Chisholm dalam bukunya Theory of Knowledge, mengemukkan problem-problem epistemologis yang berkisar pada beberapa pertanyaan, antara lain: apa perbedaan antara pengetahuan dengan opini yang benar, bagaimana mencari justifikasi atas pengetahuan terhadap sesuatu, apa hakikat pengetahuan, dari mana asalnya, apa sumbernya dan sejauhmana pengetahuan manusia itu, apa itu kebenaran akal (truths of reason), dan apa problem kebenaran. Alfons Taryadi. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R. Popper. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991. Hal: 21-23. Lihat juga dalam Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. Hal: 4
[12] Jujun S. Suriasumantri. Tentang Hakekat … Op. Cit. Hal: 9
[14] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum: Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001. Hal: 42
[15] Muhammad Roy. Ushul Fiqih ... Op. Cit. Hal: 27
[16] I Nengah Kerta Besung. Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan: Ditinjau Dari Filsafat Ilmu. (Makalah). Program Pascasarjana Universitas Udayana. 2006. Hal: 6
[17] Simanhadi Widyaprakosa. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Seri Kuliah. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas DR. Soetomo. 2000. Hal: 39
[18] Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis, cotohnya adalah Mekanika, Hidrodinamika, Bunyi, Fisika Nuklir dan lain sebagainya. Sedangkan ilmu Terapan adalah aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis, contohnya adalah Mekanika Tehnik, Tehnik Aeronautikal/Tehnik Dan Desain Kapal, Tehnik Akustik, Tehnik Nuklir dan lain sebagainya.
[19] Simanhadi Widyaprakosa. Filsafat Ilmu ... Loc. Cit. Hal: 39
[20] Dalam hal ini, penulis membatasi diri untuk mendeskripsikan tentang kinerja hipotesis dan penelitian. Hipotesis dan penelitian akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
[21] Meminjam istilah dari Kuntowijoyo yang memahami realitas sosial dengan berparadigma al-qur’an sebagai Ilmu Sosial Profetik, jadi penulis mencoba mengimitasi paradigma tersebut dengan mengubah menjadi Ilmu Pengetahuan Profetik.
[23] Ibid. Hal: 327
[24] Ibid. Hal: 170
[25] Ibid. Hal: 170
[26] Taufik Adnan Amal. Islam Dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan. 1993. Hal: 203
[27] Fazlur Rahman. Islam. (Peterj: Abdurrahman Arief). Bandung: Pustaka Hidayah. Hal: 256. Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diimplementasikan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kuntowijoyo disebut sebagai nilai normatif praktis. Menurut Fazlur Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya atau asbabun nuzul wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis. Lebih detailnya lihat dalam Fazlur Rahman. Islamic Studies And The Future Of Islam. California: Malibu 1980, juga Fazlur Rahman. Islam And Modernity. Chicago: The University of Chicago. 1980, dan Fazlur Rahman. Major Themes Of The Qur’an. Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica. 1980.
[29] Ibid. Hal: 330
[30] Ibid. Hal: 283-285
[31] Ibid. Hal: 337
[32] Budhy Munawar Rachman. Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dalam Majalah Ulumul Qur’an No. 3 Vol. VI, 1995. Hal: 21
[33] Abubaker A. Bagader. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Islam: Perspektif Sosiologi Agama. (Peterj: Mahnun Husain). Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996. Hal: 23
[35] Muslim Abdurrahman. Teologi Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995. Hal: 27
[37] Ibid. Hal: 287. Bandingkan dengan pemikiran Muslim Abdurrahman. Teologi Transformatif ... Op. Cit. Hal: 25
[38] Ibid. Hal: 287
[39] Budhy Munawar. Dari Tahapan ... Op. Cit. Hal: 21
+ comments + 1 comments
tulisannya menarik namun terlalu banyak mengutip